IKTERUS (KUNING) PADA BAYI BARU LAHIR
Pernahkah anak mengalami masalah
ini? Atau mungkin bayi dari ikhwah kita, yang kulitnya nampak kekuningan
beberapa hari setelah lahir? Untuk lebih mengerti tentang seluk beluk penyakit
kuning (ikterus) pada bayi mari kita ikuti uraian berikut ini.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN IKTERUS?
Ikterus adalah perubahan warna
kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan
kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan
suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi yang
lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal)
misalnya akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi
berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain.
APAKAH BILIRUBIN ITU?
Bilirubin adalah zat yang terbentuk
sebagai akibat dari proses pemecahan Hemoglobin (zat merah darah) pada system
RES dalam tubuh. Selanjutnya mengalami proses konjugasi di liver, dan akhirnya
diekskresi (dikeluarkan) oleh liver ke empedu, kemudian ke usus.
Ikterus fisiologis timbul pada hari
ke-2 dan ke-3, dan tidak disebabkan oleh kelainan apapun, kadar bilirubin darah
tidak lebih dari kadar yang membahayakan, dan tidak mempunyai potensi
menimbulkan kecacatan pada bayi. Sedangkan pada ikterus yang patologis, kadar
bilirubin darahnya melebihi batas, dan disebut sebagai hiperbilirubinemia.
Penelitian di RSCM Jakarta menunjukkan bahwa
dianggap hiperbilirubinemia bila:
1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin darah lebih
dari 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin darah 10 mg% pada neonatus
(bayi baru lahir) kurang bulan, dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (pemecahan
darah yang berlebihan) pada inkompatibilitas darah (darah ibu berlawanan rhesus
dengan bayinya), kekurangan enzim G-6-PD, dan sepsis)
5. Ikterus yang disertai dengan keadaan-keadaan
sebagai berikut:
§ Berat lahir kurang dari 2 kg
§ Masa kehamilan kurang dari 36 minggu
§ Asfiksia, hipoksia (kekurangan oksigen), sindrom
gangguan pernafasan
§ Infeksi
§ Trauma lahir pada kepala
§ Hipoglikemi (kadar gula terlalu rendah),
hipercarbia (kelebihan carbondioksida)
Yang sangat berbahaya pada ikterus
ini adalah keadaan yang disebut “Kernikterus”. Kernikterus adalah suatu
kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Gejalanya
antara lain: mata yang berputar, kesadaran menurun, tak mau minum atau
menghisap, ketegangan otot, leher kaku, dan akhirnya kejang, Pada umur yang
lebih lanjut, bila bayi ini bertahan hidup dapat terjadi spasme (kekakuan)
otot, kejang, tuli, gangguan bicara dan keterbelakangan mental.
BAGAIMANA MELIHAT IKTERUS PADA BAYI KITA?
Pengamatan ikterus kadang-kadang
agak sulit apalagi dengan cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan
dengan cahaya matahari dengan cara menekan sedikit kulit yang akan diamati
untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi. Jika warna kulit tetap
kuning, berarti kemungkinan bayi kita telah mengalami ikterus, dan kadar
bilirubinnya tinggi. Ikterus pada bayi baru lahir baru terlihat kalau kadar
bilirubin mencapai 5 mg%. Pengamatan di RSCM menunjukkan ikterus baru terlihat
jelas saat kadar bilirubin mencapai 6 %.
APA SAJA PENYEBAB IKTERUS?
Penyebab ikterus pada bayi baru
lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain:
·
Produksi yang
berlebihan, misalnya pada pemecahan darah (hemolisis) yang berlebihan pada
incompatibilitas (ketidaksesuaian) darah bayi dengan ibunya.
·
Gangguan dalam proses
uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.
·
Gangguan transportasi
karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.
·
Gangguan ekskresi yang
terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau kerusakan sel liver).
BAGAIMANA PENATALAKSANAAN IKTERUS?
Bawa segera ke tenaga kesehatan untuk
memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal (fisiologis)
ataukah sudah patologis.
Dokter akan memberikan pengobatan sesuai
dengan analisa penyebab yang mungkin. Bila diduga kadar bilirubin bayi sangat
tinggi atau tampak tanda-tanda bahaya, dokter akan merujuk ke RS agar bayi
mendapatkan pemeriksaan dan perawatan yang memadai.
Di rumah sakit, bila diperlukan akan
dilakukan pengobatan dengan pemberian albumin, fototerapi (terapi sinar), atau
tranfusi tukar pada kasus yang lebih berat.
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir:
Pengaruh sinar terhadap ikterus
pertama-tama diperhatikan oleh salah seorang perawat di salah satu rumah sakit
di Inggris. Perawat tersebut melihat bahwa bayi yang mendapatkan sinar matahari
di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan dengan
bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan
penelitian mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari
penelitiannya terbukti bahwa disamping sinar matahari, sinar lampui tertentu
juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi prematur
yang diselidikinya.
Terapi sinar tidak hanya bermanfaat untuk bayi
kurang bulan tetapi juga efektif terhadap hiperbilirubinemia oleh sebab lain.
Pengobatan cara ini menunjukkan efek samping yang minimal, dan belum pernah
dilaporkan efek jangka panjang yang berbahaya.
TATA CARA/PERAWATAN BAYI DENGAN TERAPI SINAR
Bila bayi kita terpaksa dirawat di
RS untuk mendapatkan terapi sinar, sebagai ibu kita perlu benar-benar memahami
dan mengerti tata cara terapi sinar ini agar hasilnya bisa optimal, dan yang
lebih penting lagi mengantisipasi semua efek samping yang mungkin muncul.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu
diperhatikan:
Diusahakan bagian tubuh bayi yang
terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.
·
Kedua mata dan kemaluan
harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak
membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
·
Bayi diletakkan 8 inci
di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan
energi yang optimal.
·
Posisi bayi sebaiknya
diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat
menyeluruh.
·
Suhu bayi diukur secara
berkala setiap 4-6 jam.
·
Kadar bilirubin bayi
diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
·
Hemoglobin harus
diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
·
Perhatikan kecukupan
cairan tubuh bayi. Bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan.
Bila dievaluasi ternyata tidak
banyak perubahan pada kadar bilirubin, perlu diperhatikan
kemungkinan lampu yang kkurang
efektif, atau ada komplikasi pada bayi seperti dehidrasi, hipoksia (kekurangan
oksigen), infeksi, gangguan metabolisme, dan lain-lain.
KOMPLIKASI APA SAJA YANG DITIMBULKAN OLEH TERAPI
SINAR?
Setiap pengobatan selalu akan
menimbulkan efek samping. Dlam penelitian yang dilakukan selama ini, tidak
ditemukan pengaruh negatif terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek
samping hanya bersifat sementara, dan dapat dicegah/diperbaiki dengan
memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar.
Kelainan yang mungkin timbul karena terapi sinar
antara lain:
·
Peningkatan kehilangan
cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan harus diperhatikan dengan
sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin berikan ASI.
·
Frekwensi buang air
besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus yang meningkat).
·
Timbul kelainan kulit
yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak.
·
Kenaikan suhu tubuh.
·
Kadang pada beberapa
bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang hanya bersifat sementara.
Komplikasi biasanya bersifat ringan
dan tidak sebanding dengan manfaat penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih
merupaka pilihan dalam mengatasi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
BAGAIMANA MENCEGAH IKTERUS PADA BAYI KITA?
Ikterus dapat dicegah sejak masa
kehamilan, dengan cara pengawasan kehamilan dengan baik dan teratur, untuk
mencegah sedini mungkin infeksi pada janin, dan hipoksia(kekurangan oksigen)
pada janin di dalam rahim. Pada masa persalinan, jika terjadi hipoksia,
misalnya karena kesulitan lahir, lilitan tali pusat, dan lain-lain, segera
diatasi dengan cepat dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir, biasakan anak dijemur
dibawah sinar matahari pagi sekitar jam 7 – jam 8 pagi setiap hari selama 15
menit dengan membuka pakaiannya.
Ikterus
Neonatorum
Angka kematian bayi (AKB) di
Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup.
Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur
adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi
pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu
penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih
dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada
tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan
fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi
bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali
lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah
eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama
bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37
minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis
berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk
akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus
akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.
Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin
dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya
adalah fisiologis, kecuali:
Timbul
dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin
total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan
>10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar
bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus
menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat
faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah
neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan
otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat
deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut
atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama):
refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama):
tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama):
hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat.
Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran
sensorial.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi
yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang
dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru
lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data
ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi
cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin
di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu
pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan
pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada
bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95%
dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari
1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan
dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian
terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens
ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.
Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo
Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan
13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan
oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai
berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito
menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr.
Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum
terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
·
Hemolisis yang
disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·
Fungsi hepar yang belum
sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand
dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit
dan konjugasi.
·
Sirkulus
enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase
di usus dan belum ada nutrien
·
Peningkatan kadar
bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:
Hemolisis akibat inkompatibilitas
ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan
pengaruh obat.
Infeksi,
septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu
diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Sumbatan
traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor
Maternal
Ras atau
kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
Komplikasi
kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan
infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI
b. Faktor
Perinatal
Trauma
lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi
(bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor
Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat
(streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya
asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat
akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal
setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan
menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus
mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada
hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total
biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL,
kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul
peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi <
2 mg/dL.
Pola ikterus fisiologis ini
bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh,
bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada
hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu.
Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada
hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena
polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari
dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum
matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan
hemoglobin dan pembentukan bilirubin.
2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk
jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat
ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat
terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan
absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu
tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.
Apabila keadaan umum bayi baik,
aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar
bilirubin.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka
kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat.
Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya
bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh
digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk
untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan
ikterus secara visual, sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
Tekan
kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan
jaringan subkutan.
Tentukan
keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
(tabel
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum
merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk
menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa
adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan
aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan
pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia
bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen
spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang
menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan
merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu
menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang
dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh
pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan
untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah
studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin
transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode
standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru
lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia
dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari
penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)
memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval
prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB.
Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk
menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan
sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan
oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun
transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan
tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati
hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat
melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin
dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk
mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode
oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi
peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna.
Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih
terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada
pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen.
Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui
pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
Kuning
terlihat pada
Tingkat
keparahan ikterus
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun
pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari
kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi
sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu
hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko,
tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan,
pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.
Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara
berikut:
Minum ASI
dini dan sering
Terapi
sinar, sesuai dengan panduan WHO
Pada bayi
yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih
cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam
pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi
hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama
kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis
dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai
terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko
berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu,
hemolisis atau sepsis
Ambil
contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
Bila
kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
Bila
kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
Bila
faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau
bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila
memungkinkan.
Tentukan
diagnosis banding
2. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas
faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya
defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua
ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
Bila nilai
bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan
terapi sinar.
Bila
rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
Bila
bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin
< 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
Bila
bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes
Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan
hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
Bila
bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
Persiapkan transfer.
Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas
transfusi tukar.
Kirim contoh darah ibu dan bayi.
Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu
dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.
Nasihati
ibu:
Bila
penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan
informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan
berikutnya.
Bila
bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari
zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat
antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
Bila
hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
Bila
ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu
lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum
kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged
jaundice).
Follow
up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu.
Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.
Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
Diagnosis
ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan,
dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
Terapi
sinar dihentikan, dan lakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
Bila buang
air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan
rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut,
bila memungkinkan.
Bila tes
sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan
transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.
G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada
hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf,
meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat
menghambat enzim-enzim mitokondria serta
mengganggu sintesis DNA.
Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi
saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa
tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang
terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini
disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan
lama paparan bilirubin terhadap jaringan.
Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan
tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati
bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid
dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan
kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan
kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat
ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan
antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah
diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin
total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan
neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas
bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya
dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan
albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel
otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah
peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar
albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur
berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.
Bayi yang selamat setelah mengalami
ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan
manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau
hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.
H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila
terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP
dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan
hiperbilirubinemia sebagai berikut:
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI
pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan
paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali
sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau
keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan
ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan
kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan
yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan
tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi.
Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum
maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan
sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi
isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama
kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan
Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan
pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes
Coombs.
Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua
neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang
perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus
harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan
tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat
dinilai dengan menekan kulit bayi
sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus
dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar
matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit
putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di
bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.
Efek Samping Terapi Sinar Pada Ikterus / Kuning
Setiap pengobatan akan menimbulkan
efek samping. Dalam penelitian yang dilakukan selama ini tidak ditemukan
pengaruh negatif dari terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek samping
hanya bersifat sementara, dan bisa dicegah / diperbaiki dengan memperhatikan
tata cara penggunaan terapi sinar.
Kelainan
yang mungkin akan timbul dari terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan kehilangan cairan tubuh pada bayi
karena itu pemberian cairan harus diperhatikan. Bila bayi bisa minum ASI,
sesering mungkin berikanlah ia ASI.
2. Frekuensi buang air besar meningkat, karena
Hiperteristaltik (gerak usus yang meningkat).
3. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara
pada muka, badan, dan alat gerak.
4. Kenaikan suhu tubuh.
5. Beberapa bayi ditemukan dengan gangguan minum dan
rewel yang bersifat sementara.
Efek
samping biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat
penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupakan PILIHAN dalam mengatasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
Ragam Terapi untuk Bayi Kuning
Tags: bayi baru lahir, bayi kuning,
bayi sehat, bilirubin, bilirubin bayi, Buang air besar, cacar air, diare,
feses, hiperbilirubin, kesehatan bayi, merawat bayi kuning, organ hati, organ
usus, perkembangan bayi, terapi sinar, tokso, toksoplasma
Penelitian menunjukkan sekitar 70
persen bayi baru lahir mengalami kuning. Meskipun dikategorikan wajar, orang
tua tetap harus waspada. \”Bayi ibu kuning? Alaaa itu biasa, kok. Jemur saja di
bawah sinar matahari tiap pagi. Nanti juga baik sendiri.\” Saran seperti itu
kerap diberikan kepada ibu bila bayi yang baru dilahirkannya dinyatakan kuning.
Cara mengetahui kadar bilirubin
bayi baru lahir adalah dengan pemantauan. Bayi \”kuning\”, yang dalam istilah
medis disebut ikterus neonatus, terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin
dalam darah hingga melebihi ambang batas normal. Gejalanya, kulit dan bagian
putih mata bayi tampak kuning tapi suhu badannya normal.
Namun, tidak semua bayi kuning bisa
diobati hanya dengan menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Ada juga yang
perlu dirawat inap di rumah sakit untuk menjalani beberapa terapi. Menurut dr.
Dewi Murniati, Sp.A., rekomendasi dirawat inap akan diberikan bila bayi
terdeteksi memiliki kadar bilirubin di atas ambang normal.
Mengapa sinar matahari yang merupakan sinar
ultra-violet dianggap kurang efektif?
Padahal sinar ini memang bisa
membantu memecahkan kadar bilirubin dalam darah bayi. Seperti diketahui sinar
surya yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin adalah saat jam 07.00
sampai 09.00. Ini berarti bayi tak bisa sepanjang waktu disinari, sehingga
penurunan kadar bilirubinnya akan lama.
Cuaca yang mendung bahkan hujan
juga dapat mengganggu proses penyinaran. Selain itu, merawat bayi kuning di
rumah berisiko terhadap keterlambatan deteksi peningkatan kadar bilirubin. Beda
kalau bayi dirawat di rumah sakit, ia akan terpantau oleh dokter dari waktu ke
waktu.
KAPAN BAYI DINYATAKAN KUNING ?
Untuk bayi yang lahir cukup bulan,
batas aman kadar bilirubinnya adalah 12,5 mg/dl (miligram perdesiliter darah).
Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman
kadar bilirubinnya adalah 10 mg/dl.
\”Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi
angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin,\” papar Dewi.
Lalu bagaimana bayi baru lahir bisa mengalami
hiperbilirubin? Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel
darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat
dalam eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami
destruksi (pemecahan).
Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemeglobin
menjadi zat heme dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah
menjadi bilirubin bebas atau indirect.
Dalam kadar tinggi bilirubin bebas
ini bersifat racun; sulit larut dalam air dan sulit dibuang. Untuk
menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin indirect menjadi direct
yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi baru lahir belum
dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas tersebut. Barulah
setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses pembuangan bilirubin
bisa berlangsung lancar.
Masa \”matang\” organ hati pada
setiap bayi tentu berbeda-beda. Namun umumnya, pada hari ketujuh organ hati
mulai bisa melakukan fungsinya dengan baik. Itulah mengapa, setelah berumur 7
hari rata-rata kadar bilirubin bayi sudah kembali normal. Tapi ada juga yang
menyebutkan organ hati mulai bisa berfungsi pada usia 10 hari.
RAGAM TERAPI
Jika setelah tiga-empat hari
kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi.
Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada.
Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek di RSIA Hermina Daan Mogot,
Jakarta.
1.Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24
jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas
normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan
menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi
sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga
menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada
fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu.
Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian
bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass
yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga
intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu
tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas,
kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari
lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan
mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya.
Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ
reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi,
posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran
berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar bilirubinnya
sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang
batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua
hari si bayi sudah boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap
dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar
mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin
justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil,
gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi
akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk
menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan
ASI pada si kecil.
2.Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi
tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl
atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan
kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motorik
dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi
yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Proses tukar darah akan dilakukan
bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan
angka yang menggembirakan, maka terapi transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih
tinggi maka perlu dilakukan proses tranfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul
adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke
dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan
kadar bilirubin yang tinggi.
3.Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan
obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan
pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect
berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau
albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut
bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan
terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka terapi
obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk.
Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan
terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan
bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama
untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah
bisa ditangani.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika
bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup
ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya.
Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah
pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar
bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang
dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum
diketahui hingga saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya
muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada
minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah
kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui
lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya
merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di
rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang
berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian
telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya
efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum
cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi
sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling,
keadaan udara harus bersih.
DUA JENIS KUNING
Hiperbilirubin, tutur Dewi, dibagi
menjadi dua, yakni ikterus neonatus fisiologis dan ikterus neonatus patologis.
1. Ikterus neonatus fisiologis (hiperbilirubin
karena faktor fisiologis)
merupakan gejala normal dan sering
dialami bayi baru lahir. Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi lahir, dan akan
\”sembuh\” pada hari ke-7. Penyebabnya organ hati yang belum \”matang\” dalam
memproses bilirubin. Jadi, hiperbilirubin karena
faktor fisiologis hanyalah gejala biasa. Meski
begitu, orang tua harus tetap waspada. Bisa saja di balik itu terdapat suatu
penyakit.
2. Ikterus neonatus patologis;
hiperbilirubin yang dikarenakan
faktor penyakit atau infeksi. Misalnya akibat virus hepatitis, toksoplasma,
sifilis, malaria, penyakit/kelainan di saluran empedu atau ketidakcocokan
golongan darah (rhesus).
Hiperbilirubin yang disebabkan
patologis biasanya disertai suhu badan yang tinggi (demam) atau berat badan tak
bertambah. Biasanya bayi kuning patologis ditandai dengan tingginya kadar
bilirubin walau bayi sudah berusia 14 hari.
Asuhan Keperawatan Ikterik Pada Bayi Baru Lahir
1. LATAR BELAKANG
Ikterus neonatorum merupakan
fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi
bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin
2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat
terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih
pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi
pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak
sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum
matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada
bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit
harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk
melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini
yang menyebabkab kuning pada bayi.
Kejadian ikterus pada bayi baru
lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan
(BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu, beberapa
klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam
pengelolaan BBL ynag pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan.
BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim
hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara
efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar,
infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan
mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
2. PERMASALAHAN
Ikterus adalah warna kuning yang
tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai
tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis,
namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah; yang paling ditakuti
adalah ensefalopati bilirubin. Mengingat belum adanya definisi yang universal,
maka diperlukan kesepakatan definisi, pendekatan diagnosis, serta tata laksana
yang tepat.
Berbagai teknik diagnostik telah
digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin
serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan
karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya.
Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti
transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining)
pengukuran bilirubin serum.
Sampai saat ini belum ada
keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar serum bilirubin
untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar,
obat-obatan) masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan terapi dapat
berakibat buruk di masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti
menyia-nyiakan sumber daya yang tidak perlu.
3. Tujuan
Untuk menambah pengetahuan,
wawasan, dan keterampilan penulis dalam memberikan asuhan kebidanan pada BBL
dengan BBLR dan Ikterus serta menerapkannya dalam bentuk manajemen asuhan kebidanan.
TINJAUAN TEORITIS
Pengertian
· Ikterus Neonaturum adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus juga disebut Hiperbilirubinemia. Yang
dimaksud ikterus pada BBL (bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin
didalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat
tubuh lainnya berwarna kuning.(Ngastiyah,1997: 197)
· Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50%
neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus
pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal
patologis. (Saifuddin, 2002: 381)
· Ikterus atau warna kuning pada bayi baru lahir
dalam batas normal pada hari ke2-3 dan menghilang pada hari ke-10. ikterus
disebbkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah dewasa.
(Manuaba, 1998: 325)
· Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau
jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh (Ilmu Kesehatan Anak
Jilid I)
· Ikterus (Jaundice) adalah perubahan warna kulit menjadi
kuning akibat pewarnaan jaringan oleh bilirubin (Hellen Farrer, Perawatan
Maternitas)
· Ikterus adalah perubahan warna kulit atau sclera
mata ( normal berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin
dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang
fisiologis ( normal), terdapat pada 25-50% bayi yang lahir cukup bulan. Tapi
juga bisa merupakan hal yang patologis ( tidak normal) misalnya berlawanannya
Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis ( infeksi berat), penyumbatan saluran
empedu dll.
· Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit,
konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah. Disebut dengan hiperbilirubinemia apabila didapatkan kadar bilirubin dan
darah > 5mg% (85µmol/L). (Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober
2004)
Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap
bayi baru lahir, karena:2
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah
merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan
fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum
adekuat) à penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
- Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih
berfungsinya enzim b glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus
nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:2
- Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau
isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
- Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi
saluran kemih, infeksi intra uterin.
- Polisitemia
- Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom,
kontusio, trauma lahir
- Ibu diabetes
- Asidosis
- Hipoksia/asfiksia
- Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik
2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native
American,Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan
Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan
hipotonik.
- ASI
Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,
sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
Klasifikasi
Sebagai neonatus , terutama bayi prematur,
menunjukkan gejala ikterus pada hari pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada
hari ke dua, kemudian menghilang pada hari ke sepuluh, atau pada akhir minggu
ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak memerlukan
pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin
tidak langsung yang berlebihan Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi
patologik dan memerlukan pemeriksaan yang mendalam antara lain :
· Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama
· Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per
hari
· Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
· Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur
· Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama
· Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi
1mg%pada setiap waktu.
· Ikterus yang mempunyai hubungan dengan penyakit
hemoglobin, infeksi,atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.
Ikterus Neonatorum dibagi menjadi:
a. Ikterus Patologik
Ikterus di katakan patologik jikalau pigmennya,
konsentrasinya dalam serum, waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda
dari kriteria yang telah disebut pada Ikterus fisiologik. Walaupun kadar
bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat
tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik.
Ikterus patologik dapat terjadi karena beberapa
faktor yaitu :
Ø Meningkatnya produksi bilirubin, sehingga
melampaui batas kemampuan hepar untuk dikeluarkan.
Ø Faktor-faktor yang menghalangi itu mengadakan
obstruksi pengeluaran bilirubin.
Ø Faktor yang mengurangi atau menghalangi kemampuan
hepar untuk mengadakan konjugasi bilirubin.
b. Ikterus Hemolitik
Ikterus Hemolitik pada umumnya merupakan suatu
golongan penyakit yang disebut Erythroblastosis foetalis atau Morbus Haemolitik
Neonatorum ( Hemolytic disease of the new born ). Penyakit hemolitik ini
biasanya disebabkan oleh Inkompatibilitas golongan darah itu dan bayi.
1) Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit ini sangat jarang terdapat di Indonesia.
Penyakit ini terutama terdapat di negeri barat karena 15 % Penduduknya
mempunyai golongan darah Rhesus negatif. Di Indonesia, dimana penduduknya
hampir 100% Rhesus positif, terutama terdapat dikota besar, tempat adanya
pencampuran penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang
dilakukan tranfusi tukar darh pada bayi dengan ikterus karena antagonismus
Rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah denagan orang asing pada susunan
keluarga orang tuanya.
Bayi Rhesus positif dari Rhesus negatif tidak
selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu lahir, tetapi dapat terlihat
ikterus pada hari pertama kemudian makin lama makin berat ikterusnya, aisertai
dengan anemia yang makin lama makin berat pula. Bila mana sebelum kelahiran
terdapat hemolisis yang berat maka bayi dapat lahir dengan oedema umum disertai
ikterus dan pembesaran hepar dan lien ( hydropsfoetalis ).
Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan
mengeluarkan bilirubin yang berlebihan dalam serum, agar tidak terjadi Kern
Ikterus.
2) Inkompatibilitas ABO
Penderita Ikterus akibat hemolisis karena inkom
patibilitas golongan darah ABO lebih sering ditemukan di Indonesia daripada
inkom patibilitas Rh. Transfusi tukar darah pada neonatus ditujukan untuk
mengatasi hiperbilirubinemia karena defisiensi G – 6 – PD dan Inkompatibilitas
ABO.
Ikteru dapat terjadi pada hari pertama dan ke dua
yang sifatnya biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemianya ringan, hepar
dan lien tidak membesar, ikterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau
hemolisiinya berat, sering kali diperlukan juga transfusi tukar darah untuk
mencegah terjadinya Kern Ikterus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan
kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.
a) Ikterus hemolitik karena incompatibilitas
golongan darah lain.
Selain inkompatibilitas darah golongan Rh dan ABO,
hemolisis dapat pula terjadi bila terdapat inkompatibilitas darah golongan Kell,
Duffy, MN, dan lain-lain. Hemolisis dan ikterus biasanya ringan pada neonatus
dengan ikterus hemolitik, dimana pemeriksaan kearah inkimpatibilitas Rh dan ABO
hasilnya negatif, sedang coombs test positif, kemungkinan ikterus akibat
hemolisis inkompatibilitas golongan darah lain.
b) Penyakit hemolitik karena kelainan eritrosit
kongenital.
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran
klinik yang menyerupai erytrhoblasthosis foetalis akibat isoimunisasi. Pada
penyakit ini coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat
disebut ialah sperositosis kongenital, anemia sel sabit ( sichle – cell anemia
), dan elyptocytosis herediter.
c) Hemolisis karena diferensi enzyma
glukosa-6-phosphat dehydrogenase ( G-6-PD defeciency ).
Penyakit ini mungkin banyak terdapat di indonesia
tetapi angka kejadiannya belum di ketahui dengan pasti defisiensi G-6-PD ini
merupakan salah satu sebab utama icterus neonatorum yang memerlukan transfusi
tukar darah. Icterus walaupun tidak terdapat faktor oksigen, misalnya obat-obat
sebagai faktor pencetusnya walaupun hemolisis merupakan sebab icterus pada
defesiensi G-6-PD, kemungkinan besar ada faktor lain yang ikut berperan,
misalnya faktor kematangan hepar.
c. Ikterus Obstruktiva
Obstruksi dalam penyaluran empedu dapat terjadi di
dalam hepar dan di luar hepar. Akibat obstruksi itu terjadi penumpukan
bilirubin tidak langsung dan bilirubin langsung.
Bila kadar bilirubin langsung melebihi 1mg%, maka
harus curiga akan terjadi hal-hal yang menyebabkan obstruksi, misalnya hepatitis,
sepsis, pyelonephritis, atau obstruksi saluran empedu peningkatan kadar
bilirubin langsung dalam serum, walaupun kadar bilirubin total masih dalam
batas normal, selamanya berhubungan dengan keadaan patologik.
Bisa terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik
dalam hati maupun luar hati. Akibatnya kadar bilirubin direk maupun indirek
meningkat.
Bila sampai dengan terjadi obstruksi ( penyumbatan )
penyaluran empedu maka pengaruhnya adalah tindakan operatif, bila keadaan bayi
mengizinkan.
d. Kernicterus
Encephalopatia oleh bilirubin merupakan satu hal
yang sangat di akui sebagai komplikasi hiperbirubinemia.
Bayi-bayi yang mati dengan icterus berupa icterus
yang berat, lethargia tidak mau minum, muntah-muntah, sianosis, opisthotonus
dan kejang. Kadang gejala klinik ini tidak di temukan dan bayi biasanya
meninggal karena serangan apnoea.
Kernicterus biasanya di sertai dengan meningkatnya
kadar bilirubintidak langsung dalam serum.
Pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin
yang melebihi 20 mg% sering keadaan berkembang menjadi kernicterus.
Pada bayi primatur batas yang dapat di katakan cuman
ialah 18 mg%, kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3gram%. Pada neomatus
yang menderita hyipolia, asidosis, dan hypoglycaemia kernicterus dapat terjadi
walaupun kadar bilirubin <16mg%.> 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak
praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
· Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan
sebagai ikterus berat pada tabel 1.
· Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko
berikut: berat lahir <>15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki
spektrum emisi yang sama dengan spektrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat
badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur
yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil
(gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain
itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah
paparan kulit yang tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi
menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu fluoresens yang terlalu
panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari lampu
yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki
peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.
TRANFUSI TUKAR
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan
sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor
dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar
darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan
mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin
indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki
manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi
bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.
Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia <> 4,5 mg/dL dan
kadar Hb <> 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6
mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar
bilirubin dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sinar
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
- Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia,
asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah
Komplikasi tranfusi tukar
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia,
hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik,
enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia
Perawatan pasca tranfusi tukar
- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi
Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar 12:
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko
tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang tua penderita
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum
tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan
sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali
pusat telah mengering kompres dengan NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus
albumin terutama jika kadar albumin < style="font-weight:
bold;">Pelaksanaan Tranfusi Tukar
a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL
atau tergantung berat badan bayi, jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume
darah bayi
b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan
mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap
dapat memakai darah ini karena belum bercampur dengan darah donor
c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama
secara perlahan-lahan. Kecepatan menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2
mL/kgBB/menit
d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20
detik, agar beredar dalam sirkulasi
e. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan
cara yang sama sampai target transfusi tukar selesai
f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang
masuk pada lembaran observasi transfusi tukar
g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat
atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium
glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar
kalsium sebelum tranfusi <>
Mempercepat metabolisme dan
pengeluran bilirubin ü Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan
yang dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus,misalnya dengan terapi sinar
(photo terapi).
Mengeluarkan bilirubin dari
peredaran darah , yaitu denga tranfusi tukar darah.
MEMPERCEPAT METABOLISME DAN PENGELUARAN BILIRUBIN
1.Early feeding. Pemberian makanan dini pada
neonatus dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada neonatus. Hal ini
mungkin sekali disebabkan karena dengan pemberian Makanan yang dini itu terjadi
pendorongan gerakan usus,Dan meconium lebih cepat dikeluarkan,sehingga
peredaran Enterohepatik bilirubin berkurang.
2.Pemberian agar-agar. Pemberian agar-agar per os
dapat mengurangi ikterus fisiologik.Mekanismenya ialah dengan menghalangi atau
mengurangi peredaran bilirubin enterohepatik.
3.Pemberian phenobarbital. Pemberian phenobarbital
ternyata dapat menurunkan kadar bilirubin tidak langsung dalam serum
bayi.Khasiat phenobarbital ialah mengadakan induksi enzymamicrosoma,sehingga
konjugasi bilirubin berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk
mengobatan hiperbilirubenemia padaneonatus selama tiga hari baru dapat
menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan
reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8
mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara
oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah
bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan
waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti. Mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan yang dapat dikeluarkan dengan
sempurna melalui ginjal dan traktus digestivus.Contoh paling baik ialah terapi
sinar. Creme ( 1958 ) melaporkan bahwa pada bayi penderita icterus yang diberi
s inar matahari lebih dari penyinaran biasa, icterus lebih cepat menghilang
dibandingkan dengan bayi lain yang tidak disinari. Penyelidikan sarjana-sarjana
lain, misalnya Lucey ( 1968 ), Gianta dan Rath ( 1968 ), dan lain-lain
menunjukkan bahwa terapi sinar dengan menggunakan sinar buatan juga memberi
hasil yang baik. Dengan terapi sinar bilirubin serum dapat turun dengan cepat,
1 sampai 4 mg% dalam 24 jam. Dengan penyinaran bilirubin dipecah menjadi
dipyrole yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus. Hasil
perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh dan dikeluarkan dari
tubuh dengan sempurna. Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia
harus dilakukan dengan hati-hati karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan
komplikasai, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan
kehilangan air tidak terasa ( insensible water losess ), dan dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta perkembangan bayi, walaupun hal ini masih dapat dibalikkan.
Kalau digunakan terapi sinar, sebaiknya dipilih sinar dengan spektrum antara
240-480 nannometer, sinar ultraviolet harus dicegah dengan plexiglas dan bayi
harus mendapat cairan yang cukup. Cara penggunaan foto terapi : v Alat yang
dipergunakan lebih atas 10 lampu neon biru masing-masing berkekuatan 20 Watt. v
Susunan lampu ini dimasukkan ke dalam bilik yang diberi ventilasi di
sampingnya. v Dibawah susunan lampu dipasang plexiglass setebal 1 1\2 cm untuk
mencegah sinar ultraviolet. v Alat terapi sinar diletakkan 45 cm di atas
permukaan bayi. v Terapi sinar di berikan selama 72 jam tau sampai kadar
bilirubin mencapai 7,5 mg%. Selama terapi sinar mata bayi dan alat kelamin
ditutupi dengan bahan yang dapat memantulkan sinar. Transfusi tukar darah (
exchange transfusion ) Transfusi tukar darah Jakarta di berikan kasus-kasus
berikut : a. Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin tidak
langsung yang lebih dari 20 mg% b. Pada bayi prematur tranfusi tukar darah
dapat diberikan walaupun kadar albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml. c. Pada
kenaikan yang cepat nilirubin tidak langsung serum bayi pada hari pertama ( 0,3
– 1 mg% per jam ). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan
darah. d. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi
jantung. e. Bayi penderita icterus dan kadar hemoglobin darah tali pusat kurang
dari 14 mg% dan Coombs test langsung positif. Alat-alat dan obat-obat yang
harus disediakan ialah : 1. Semprit dengan 3 cabang ( 3 way syringe ) 2.
Semprit 5 ml atau 10 ml ( 2 buah ) untuk glukonas calcicus 10% dan heparin
encer ( 2 ml heparin @ 1000 satuan dalam 250 ml NaCi fisiologik ) 3. Kateter
polyethylene kecil sepanjang 15-20 cm ( atau feeding tube No. 5-8 French ) 4.
Piala ginjal ( 2 buah ) serta botol kosong untuk menampung darah yang dibuang
5. Alat-alat pembuka vena dan 6. Zat asam, laringskop neonatus, ventilator bayi
( misalnya Penlon infant ventilator ), plastic airway, dan lain-lain yang
diperlukan untuk resusitasi. Teknik transfusi tukar darah a. Lambung bayi harus
kosong, 3-4 jam sebelum transfusi jangan diberi minum. Kalau mungkin, 4 jam
sebelum transfusi bayi diberi infus albumin 1 gram/kg berat badan atau 35 ml
plasma manusia per kg berat badan. b. Semua tindakan harus dilakukan dengan
cara ansepsis dan antisepsis. c. Harus diawasi pernafasan, nadi, denyut
jantung, dan keadaan umum bayi.
d. Bayi tidak boleh kedinginan. Kalau inkubator bayi
kecil, dan transfusi tukar darah tidak dapat dilakukan di dalam inkubator, maka
bayi dapat dikeluarkan dan dipanaskan dengan menggunakan lampu 20 Watt dalam
jarak 2-3 meter dari bayi e. Bila masih segar, tali pusat dipotong rata dengan
dinding perut. Hati-hati terhadap pendarahan. Sebaiknya sebelum dipotong tali
pusat dibuat jahitan seperti lasso pada pangkal tali pusat yang dapat
dipergunakan sebagai simpul untuk mencegah pendarahan. f. Salah satu ujung
kateter polyethylene dihubungkan dengan semprit 3 cabang dan ujung yang lain
dimasukkan ke dalam vena umbilicalis. Sebelum dimasukkan ke dalam umbilicalis
semprit 3 cabang dan kateter harus diisi dengan larutan heparin encer ( 2 ml
heparin @ 1000 satuan/ml dalam 250 ml NaCi fisiologik ). Hal ini perlu untuk
mencegah embolus. Kateter dimasukkan dengan hati-hati ke dalam vena umbilicalis
sampai terasa halangan ( biasanya sedalam 4-6 cm ), kemudian ditarik lagi
sepanjang 1 cm. Dengan cara demikian, darah akan mengalir keluar dengan
sendirinya. Ambillah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium. g. Periksalah
tekanan vena umbilicalis dengan mencabut ujung luar kateter dari semprit dan
mengangkatnya ke atas perut bayi. Tekanan ini biasanya positif ( darah dalam
kateter naik kira-kira 6 cm di atas perut bayi ). Bila ada gangguan pernafasan,
dapat terjadi tekanan negatif. Hati-hati jangan terjadi enbolus udara. h.
Keluarkan darah sebanyak 20 ml dan masukkan darah sebanyak 20 ml. Memasukkan
dan mengeluarkan darah di perlahan –lahan kira-kira dalam waktu 20 detik.Kalau
bayi lemah atau prematur,cukup sebanyak 10-15 ml sekali masuk dan
keluar.Banyaknya darah yang dikeluarkan 190 ml per kg berat badan dan yang
dimasukkan 170 ml per kg berat badan. i. Semprit harus sering dibilas dengaan
larutan hepatin encer dalam air garam fiologik. j. Setelah darah masuk sebanyak
150 ml, kateter dibilas dengan larutan heparin encer itu. Kemudian dimasukkan
gluconas calcicus 10 % secara perlahan –lahan (2 menit ) ,sesudah itu,dibilas
dengan larutan heparin encer ( 1 ml).Denyut jantung harus selalu diawasi. k.
Bila tali pusat telah kering dan tidak dapat dapat dipakai lagi,dapat dipakai
vena saphena magna,yaitu cabang vena femoralis.Lokasinya ialah 1 cm dibawah
ligamentum inguinalis dan medial dari arteri femoralis. PERAWATAN SETELAH
TRANSFUSI DARAH. 1. vena umbilicus dikompres dengan larutan garam fisiologik
supaya tetap basah seandaainya tetap diperlukan transfusi tukar lagi.Kateter
siumbilikus dapat ditinggalkan dan ditutup secara steriel. 2. Bayi perlu diberi
antibiotik spektrum luas. 3. Kadar haemoglobin dan bilirubin diperiksa setiap
12 jam. 4. Sesudah transfusi bayi dapat diberi terapi sinar. KATABOLISME HEME
MENGHASILKAN BILIRUBIN. Ketika hemoglobin dihancurkan didalam tubuh,globin
diuraian menjadi asam amino pembentuknya yang kemudian akan di gunakan kembali
,dan zat besi dari heme akan memasuki depot zat besi yang juga untuk pemakaian
kembali. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan,terutama didalam
sel-sel retikuloendotel hati,limpa dan sumsum tulang. Katabolisme heme dari
semua protein heme dilaksanakan dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh
sebuah sistem enzim yang kompleks yang dinamakan heme oksigenase.Pada saat heme
pada protein heme mencapai sitem heme oksigenase, zat besi biasanya sudah
teroksidasi menjadi bentuk feri yang merupakan hemin. Sistem heme oksigenase
dapat diinduksi oleh substrak. Sistem ini terletak sama dekat dengan sistem
pengangkutan elektron mikrosum. Besi fero sekali lagi teroksidasi menjadi
bentuk feri. Dengan penambahan lebih lanjut oksigen, ion feri dilepaskan,
kemudian karbon monoksida dihasilkan. Satu gram hemoglobin diperkirakan
menghasilkan 35 mg bilirubin. Konversi kimia heme menjadi bilirubin oleh sel
retikuloendotel dapat di amati secara in vivo karena warna ungu heme pada hema
toma perlahan-lahan di ubah menjadi pigmen bilirubin yang berwarna kuning .
Bilirubin yang terbentuk di jaringan perifer akan di angkut ke hati oleh
albumin plasma. Metabolisme bilirubin lebih lanjut terutama terjadi di hati.
PERISTIWA METABOLISME DI BAGI MENJADI 3 PROSES. § Ambilan bilirubin oleh sel
parenkim hati. § Konjugasi bilirubin dalam retikulum endoplasma halus. §
Sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu.
1. HATI MENGAMBIL BILIRUBIN. Bilirubin hanya sedikit
larut dalam plasma dan air, tetapi kelarutan bilirubin di dalam plasma di
tingkatkan oleh pengikatan nonkovalen dengan albumin. Setiap molekul albumin
tampaknya mempunyai satu tapak dengan afinitas tinggi dan satu tapak dengan
afinitas rendah untuk pengikatan bilirubin. Dalam 100 ml plasma, kurang lebih
25 mg bilirubin dapat di ikat erat oleh albumin pada tapak dengan afinitas
tinggi. Bilirubin jumlahnya berlebihan hanya terikat secara longgar dan
karenanya mudah terlepas serta berdisfusi kedalam jaringan. Sejumlah senyawa
seperti antibiotik dan beberapa obat lainnya bersaing dengan bilirubin untuk
dapat berikatan pada tapak pengikatan dengan afinitas tinggi pada albumin. Jadi
senyawa – senyawa ini dapat menggeser bilirubin dan memberikan efek klinis yang
bermakna.. Di hati bilirubin dilepaskan dari bilirubindari albumin dan diambil
pada permukaan sinusoid hepatosit qleh sistem dapat jenuh( saturable) yang
diperantarai oleh zat pembawa.Sistem pangangkutan yang difasilitasi ini
mempunyai kapasitas yang sangat besar sehingga sekalipun pada keadaan
patologik,sistem tersebut tampaknya tidak membatasi kecepatannya dalam
metabolisme bilirubin. Mengingat sistem pengangkutan yang difasilitasi tersebut
memungkan adanya ekuibilibrium bilirubin lewat membran sinusoid
hepatosit,ambilan neto bilirubin akan bergantung pada pengeluaran bilirubin
oleh lintasan metabolik berikutnya.
2. KONJUGASI BILIRUBIN DENGAN ASAM GLUKURONAT
TERJADI DIHATI Bilirubin bersifat non polar dan akan bertahan didalam sel
(misal,terikat dengan lipid) jika tidak dibuat dapat larut didalam
air.Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk polar yang dapat
diekskresikan dengan mudah kedalam empedu dengan penambahan molekul asam
glukoronat pada bilirubin pada bilirubin tersebut.Proses ini dinamkan konjugasi
dan dapat memakai molekul polar yang bukan asam glikironat(misal,sulpat).Banyak
hormon steroiddan obat yang juga dikonversikan lewat proses konjugasi menjadi
derifat yang dapat larut dalam air untuk mempersipkan ekskresi hormon dan obat
tersebut. Hati sedikitnya mengambil dua buah isoform enzim glukuronosiltrasferase
yang keduanyabekerja pada bilirubin.Enzim ini terutama terdapat dalam retikulum
endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukuronat sebagai donor
glukorunosil.Bilirubin monoglukuronida merupakan intermediat danselanjutnya
akan dikonfersikan menjadi bentuk diglukoronida.Meskipun demikian,kalau
konjugat bilirubin terdapat secara abnormal didalam plasma manusia (misa,pada
ikterus obtruktif) ,bentuk bilirubinbilirubin yang dominan adalah
monoglukuronida. Aktifitas UDP glukuronosiltransferase dapat diinduksi oleh
sejumlahobat yang berkasiat dalam klinik,termasuk preparat fenobarbital. 3.
BILIRUBIN DISEKRESIKAN KE DALAM GETAH EMPEDU. Sekresi bilirubin terkonjugasi
kedalam empedu terjadi melalui mekanisme pengangkutan yang aktif,yang mungkin
bersifat membatasi kecepatan bagi keseluruh proses metabolisme bilirubin
hepatik.Pengangkutan hepatik bilirubin terkonjugasi kedalam empedu bisa
diinduksi oleh obat yang sama yang mampu menginduksi konjugasi bilirubin.Jadi
sistem konjugasi dan ekskresi bagi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional
yang terkoordinasi. Dalam keadaan fisiologis,pada hakekatnyaseluruh bilirubin
yang diekskresikan kedalam empedu berda dalam bentuk terkonjugasi.Hanya setelah
fototerapi dapat ditemuakan bilirubin tak terkonjugasi dengan jumlah bermakna
didalam empedu.Dihati terdapat lebih dari satu sistem untuk menyekresikan
kedalam empedu senyawa yang ada secara alami dan senyawa farmasisetelah proses
senyawa terjadi.Beberapa dari sistem sekresi ini dipakai bersama bilirubin
diglukuronida,tetapi sebagian lainnya bekerja secara bebas. Bilirubin
terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus. Setelah
bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminalis dan usus besar,glukuronida
dilepaskan oleh enzim bakteri yang spesifik(enzim gukuronidase),dan pigmen
tersebut selanjutnya direduksioleh flora feses menjadi sekelompok senyawa
tetrapirol tidak berwarna yang dinamakan urobilinogen.Diileum terminalis dan
usus besar. Diserap kembali dan diekskresikan kembali lewat hati untuk
menjalani siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan abnormal, khususnya
kalau terbentuk pigmen empedu yang berlebihan atau kalau ada penyakit yang
mengganggu siklus enterohepatik ini, urobilinogen dapat pula diekskresikan
kedalam urine. Normalnya, sebagaian besar urobilinogen tidak berwarna yang
terbentuk di dalam kolon oleh flora feses akan teroksidasi disana menjadi
urobilin ( senyawa berwarna ) dan diekskresikan ke dalam feses. Warna feses
berubah menjadi lebih gelap ketika dibiarkan terpajan udara disebabkan oleh
oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin. BAB IV PENUTUP 4.1 .
Kesimpulan Ikterus adalah perubahan warna kulit atau sclera mata ( normal
berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah.
Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (
normal), terdapat pada 25-50% bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa
merupakan hal yang patologis ( tidak normal) misalnya berlawanannya Rhesus
darah bayi dan ibunya, sepsis ( infeksi berat), penyumbatan saluran empedu dll.
Ikterus Neonatorum dibagi menjadi: a. Ikterus Fisiologis - warna kuning akan
timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3. - Tidak mempunyai dasar patologis. -
Kadarnya tidak melampuai kadar yang membahayakan. - Tidak mempunyai potensi
menjadi kern-ikterus. - Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. b.
Ikterus Patologis - Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan; serum
bilirubin total lebih dari 12 mg/dl. - Peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau
lebih dalam 24 jam. - Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg% pada bayi
kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan. - Ikterus disertai
proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan sepsis).
- Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl/jam
atau lebih 5 mg/dl/hari. - Ikterus menetap sesudah bayi umur 10 hari ( bayi
cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada BBLR. Penanganan pada bayi Ikterus: a.
Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi - Beri minum sesuai dengan kebutuhan.
Makanan yang paling utama dan sesuai untuk bayi baru lahir adalah ASI. Oleh
sebab itu, berilah ASI pada bayi sesering mungkin. - Jika bayi dapat menyusui,
berilah ASI eksklusif lebih sering. - Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan
ASI melalui piapa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok. - Perhatikan juga
frekuensi BAB dan BAK bayi untuk menghindari terjadinya dehidrasi. b. Beri
theraphy sinar untuk bayi yang dirawat di Rumah Sakit, dan jemur bayi dibawah
sinar matahari pagi sekitar jam 7-jam8 pagi setiap hari selama 15 menit bayi
telungkup dan 15 menit bayi telentang. c. Jika kondisi tubuh keluarga atau tamu
sedang sakit, jangan dekat bayi dahulu, sebab bayi sangat rentan terhadap
penyakit. a. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan. b.Cegah
infeksi seminimal mungkin. Langkah Promotif dan perventif yang dapat kita
lakukan agar ikterus ini tidak terjadi yaitu: ü Menghindari penggunaan obat
pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan ikterus (sulfa,anti malaria, nitro
furantio, aspirin). ü Penanganan keadaan yang dapat mengakibatkan BBLR. ü
Penanganan infeksi maternal, ketuban pecah dini secara tepat dan cepat. ü
Penanganan asfiksia adan trauma persalinan dengan tepat. ü Pemenuhan kebutuhan
nutrisi bayi baru lahir dengan ASI dini dan eksklusif. 4.2. Saran 1. Bagi
Mahasiswa Dalam penetapan manajemen kebidanan diharapkan mahasiswa dapat
melakukan pengkajian yang lebih lengkap untuk mendapatkan hasil yang optimal
dan mampu memberikan asuhan yang kompeten bagi pasien. Mahasiswa juga
diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama proses
pembelajaran di lapangan. 2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan bimbingan
yang seoptimal mungkin dari pendidik lapangan dalam membimbing mahasiswa di
lapangan dalam memberikan asuhan kebidanan dan keperawatan bagi pasien sehingga
mahasiswa dapat mengevaluasikan teori dan praktek yang telah diperolehnya.
Referensi:
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90.
4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)
13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316.
1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90.
4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.
12. Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)
13. American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004;114:297-316.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar