Rabu, 18 Januari 2012

IKTERUS (KUNING) PADA BAYI BARU LAHIR

IKTERUS (KUNING) PADA BAYI BARU LAHIR
Pernahkah anak mengalami masalah ini? Atau mungkin bayi dari ikhwah kita, yang kulitnya nampak kekuningan beberapa hari setelah lahir? Untuk lebih mengerti tentang seluk beluk penyakit kuning (ikterus) pada bayi mari kita ikuti uraian berikut ini.

APA YANG DIMAKSUD DENGAN IKTERUS?
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% – 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain.

APAKAH BILIRUBIN ITU?
Bilirubin adalah zat yang terbentuk sebagai akibat dari proses pemecahan Hemoglobin (zat merah darah) pada system RES dalam tubuh. Selanjutnya mengalami proses konjugasi di liver, dan akhirnya diekskresi (dikeluarkan) oleh liver ke empedu, kemudian ke usus.
Ikterus fisiologis timbul pada hari ke-2 dan ke-3, dan tidak disebabkan oleh kelainan apapun, kadar bilirubin darah tidak lebih dari kadar yang membahayakan, dan tidak mempunyai potensi menimbulkan kecacatan pada bayi. Sedangkan pada ikterus yang patologis, kadar bilirubin darahnya melebihi batas, dan disebut sebagai hiperbilirubinemia.

Penelitian di RSCM Jakarta menunjukkan bahwa dianggap hiperbilirubinemia bila:
1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2. Peningkatan konsentrasi bilirubin darah lebih dari 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin darah 10 mg% pada neonatus (bayi baru lahir) kurang bulan, dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (pemecahan darah yang berlebihan) pada inkompatibilitas darah (darah ibu berlawanan rhesus dengan bayinya), kekurangan enzim G-6-PD, dan sepsis)
5. Ikterus yang disertai dengan keadaan-keadaan sebagai berikut:
§ Berat lahir kurang dari 2 kg
§ Masa kehamilan kurang dari 36 minggu
§ Asfiksia, hipoksia (kekurangan oksigen), sindrom gangguan pernafasan
§ Infeksi
§ Trauma lahir pada kepala
§ Hipoglikemi (kadar gula terlalu rendah), hipercarbia (kelebihan carbondioksida)
Yang sangat berbahaya pada ikterus ini adalah keadaan yang disebut “Kernikterus”. Kernikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Gejalanya antara lain: mata yang berputar, kesadaran menurun, tak mau minum atau menghisap, ketegangan otot, leher kaku, dan akhirnya kejang, Pada umur yang lebih lanjut, bila bayi ini bertahan hidup dapat terjadi spasme (kekakuan) otot, kejang, tuli, gangguan bicara dan keterbelakangan mental.

BAGAIMANA MELIHAT IKTERUS PADA BAYI KITA?
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dengan cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dengan cahaya matahari dengan cara menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi. Jika warna kulit tetap kuning, berarti kemungkinan bayi kita telah mengalami ikterus, dan kadar bilirubinnya tinggi. Ikterus pada bayi baru lahir baru terlihat kalau kadar bilirubin mencapai 5 mg%. Pengamatan di RSCM menunjukkan ikterus baru terlihat jelas saat kadar bilirubin mencapai 6 %.

APA SAJA PENYEBAB IKTERUS?
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
·         Produksi yang berlebihan, misalnya pada pemecahan darah (hemolisis) yang berlebihan pada incompatibilitas (ketidaksesuaian) darah bayi dengan ibunya.
·         Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.
·         Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.
·         Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau kerusakan sel liver).

BAGAIMANA PENATALAKSANAAN IKTERUS?
            Bawa segera ke tenaga kesehatan untuk memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal (fisiologis) ataukah sudah patologis.
            Dokter akan memberikan pengobatan sesuai dengan analisa penyebab yang mungkin. Bila diduga kadar bilirubin bayi sangat tinggi atau tampak tanda-tanda bahaya, dokter akan merujuk ke RS agar bayi mendapatkan pemeriksaan dan perawatan yang memadai.
            Di rumah sakit, bila diperlukan akan dilakukan pengobatan dengan pemberian albumin, fototerapi (terapi sinar), atau tranfusi tukar pada kasus yang lebih berat.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir:
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama-tama diperhatikan oleh salah seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat tersebut melihat bahwa bayi yang mendapatkan sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan dengan bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penelitian mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping sinar matahari, sinar lampui tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi prematur yang diselidikinya.

Terapi sinar tidak hanya bermanfaat untuk bayi kurang bulan tetapi juga efektif terhadap hiperbilirubinemia oleh sebab lain. Pengobatan cara ini menunjukkan efek samping yang minimal, dan belum pernah dilaporkan efek jangka panjang yang berbahaya.

TATA CARA/PERAWATAN BAYI DENGAN TERAPI SINAR
Bila bayi kita terpaksa dirawat di RS untuk mendapatkan terapi sinar, sebagai ibu kita perlu benar-benar memahami dan mengerti tata cara terapi sinar ini agar hasilnya bisa optimal, dan yang lebih penting lagi mengantisipasi semua efek samping yang mungkin muncul.

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan:
Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.
·         Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
·         Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
·         Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
·         Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
·         Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
·         Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
·         Perhatikan kecukupan cairan tubuh bayi. Bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan.
Bila dievaluasi ternyata tidak banyak perubahan pada kadar bilirubin, perlu diperhatikan

kemungkinan lampu yang kkurang efektif, atau ada komplikasi pada bayi seperti dehidrasi, hipoksia (kekurangan oksigen), infeksi, gangguan metabolisme, dan lain-lain.

KOMPLIKASI APA SAJA YANG DITIMBULKAN OLEH TERAPI SINAR?
Setiap pengobatan selalu akan menimbulkan efek samping. Dlam penelitian yang dilakukan selama ini, tidak ditemukan pengaruh negatif terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek samping hanya bersifat sementara, dan dapat dicegah/diperbaiki dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar.

Kelainan yang mungkin timbul karena terapi sinar antara lain:
·         Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin berikan ASI.
·         Frekwensi buang air besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus yang meningkat).
·         Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak.
·         Kenaikan suhu tubuh.
·         Kadang pada beberapa bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang hanya bersifat sementara.
Komplikasi biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupaka pilihan dalam mengatasi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

BAGAIMANA MENCEGAH IKTERUS PADA BAYI KITA?
Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cara pengawasan kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sedini mungkin infeksi pada janin, dan hipoksia(kekurangan oksigen) pada janin di dalam rahim. Pada masa persalinan, jika terjadi hipoksia, misalnya karena kesulitan lahir, lilitan tali pusat, dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir, biasakan anak dijemur dibawah sinar matahari pagi sekitar jam 7 – jam 8 pagi setiap hari selama 15 menit dengan membuka pakaiannya.

Ikterus Neonatorum
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada  neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).

A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:
    Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
    Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
    Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
    Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
    Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
    Terdapat faktor risiko.
Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang; tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus; tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%  untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian  terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya  sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
·         Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
·         Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
·         Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien
·         Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
    Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
    Polisitemia.
    Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
    Ibu diabetes.
    Asidosis.
    Hipoksia/asfiksia.
    Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a.    Faktor Maternal
    Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
    Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
    Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
    ASI
b.    Faktor Perinatal
    Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
    Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c.    Faktor Neonatus
    Prematuritas
Faktor genetik
    Polisitemia
    Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
    Rendahnya asupan ASI
    Hipoglikemia
    Hipoalbuminemia


D. Patofisiologi
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)
Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. 
Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
    Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
    Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.
    Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan  morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.    


3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
            Kuning terlihat pada
            Tingkat keparahan ikterus
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar  secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.






F. Tata laksana
1. Ikterus Fisiologis
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
    Minum ASI dini dan sering
    Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO
    Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
    Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.
    Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis
    Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:
        Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.
        Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar
        Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.
    Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia
Hemolitik
Paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.
    Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.
    Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:
        Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.
        Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).
        Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:
            Persiapkan transfer.
            Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.
            Kirim contoh darah ibu dan bayi.
            Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.

    Nasihati ibu:
        Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.
        Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).
   
    Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.
        Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).
        Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.


Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice)
    Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.
    Terapi sinar  dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.
    Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.
    Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.
Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.

G. Efek Hiperbilirubinemia
Perhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta  mengganggu sintesis DNA.  Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.
Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan. 

Ensefalopati bilirubin
Ikterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.
Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.  
Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

H. Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.
Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah
Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Penilaian Klinis
Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi  sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

Efek Samping Terapi Sinar Pada Ikterus / Kuning
Setiap pengobatan akan menimbulkan efek samping. Dalam penelitian yang dilakukan selama ini tidak ditemukan pengaruh negatif dari terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek samping hanya bersifat sementara, dan bisa dicegah / diperbaiki dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar.
     Kelainan yang mungkin akan timbul dari terapi sinar antara lain :
1. Peningkatan kehilangan cairan tubuh pada bayi karena itu pemberian cairan harus diperhatikan. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin berikanlah ia ASI.
2. Frekuensi buang air besar meningkat, karena Hiperteristaltik (gerak usus yang meningkat).
3. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak.
4. Kenaikan suhu tubuh.
5. Beberapa bayi ditemukan dengan gangguan minum dan rewel yang bersifat sementara.
 
    Efek samping biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupakan PILIHAN dalam mengatasi Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir

Ragam Terapi untuk Bayi Kuning
Tags: bayi baru lahir, bayi kuning, bayi sehat, bilirubin, bilirubin bayi, Buang air besar, cacar air, diare, feses, hiperbilirubin, kesehatan bayi, merawat bayi kuning, organ hati, organ usus, perkembangan bayi, terapi sinar, tokso, toksoplasma
Penelitian menunjukkan sekitar 70 persen bayi baru lahir mengalami kuning. Meskipun dikategorikan wajar, orang tua tetap harus waspada. \”Bayi ibu kuning? Alaaa itu biasa, kok. Jemur saja di bawah sinar matahari tiap pagi. Nanti juga baik sendiri.\” Saran seperti itu kerap diberikan kepada ibu bila bayi yang baru dilahirkannya dinyatakan kuning.
Cara mengetahui kadar bilirubin bayi baru lahir adalah dengan pemantauan. Bayi \”kuning\”, yang dalam istilah medis disebut ikterus neonatus, terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah hingga melebihi ambang batas normal. Gejalanya, kulit dan bagian putih mata bayi tampak kuning tapi suhu badannya normal.
Namun, tidak semua bayi kuning bisa diobati hanya dengan menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Ada juga yang perlu dirawat inap di rumah sakit untuk menjalani beberapa terapi. Menurut dr. Dewi Murniati, Sp.A., rekomendasi dirawat inap akan diberikan bila bayi terdeteksi memiliki kadar bilirubin di atas ambang normal.

Mengapa sinar matahari yang merupakan sinar ultra-violet dianggap kurang efektif?
Padahal sinar ini memang bisa membantu memecahkan kadar bilirubin dalam darah bayi. Seperti diketahui sinar surya yang efektif untuk mengurangi kadar bilirubin adalah saat jam 07.00 sampai 09.00. Ini berarti bayi tak bisa sepanjang waktu disinari, sehingga penurunan kadar bilirubinnya akan lama.
Cuaca yang mendung bahkan hujan juga dapat mengganggu proses penyinaran. Selain itu, merawat bayi kuning di rumah berisiko terhadap keterlambatan deteksi peningkatan kadar bilirubin. Beda kalau bayi dirawat di rumah sakit, ia akan terpantau oleh dokter dari waktu ke waktu.

KAPAN BAYI DINYATAKAN KUNING ?
Untuk bayi yang lahir cukup bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 12,5 mg/dl (miligram perdesiliter darah).
Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, batas aman kadar bilirubinnya adalah 10 mg/dl.
\”Jika kemudian kadar bilirubin diketahui melebihi angka-angka tersebut, maka ia dikategorikan hiperbilirubin,\” papar Dewi.
Lalu bagaimana bayi baru lahir bisa mengalami hiperbilirubin? Bilirubin merupakan zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang memungkinkan darah mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (sel darah merah) yang dalam waktu tertentu selalu mengalami destruksi (pemecahan).
Proses pemecahan tersebut menghasilkan hemeglobin menjadi zat heme dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat ini akan berubah menjadi bilirubin bebas atau indirect.
Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun; sulit larut dalam air dan sulit dibuang. Untuk menetralisirnya, organ hati akan mengubah bilirubin indirect menjadi direct yang larut dalam air. Masalahnya, organ hati sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin bebas tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dan proses pembuangan bilirubin bisa berlangsung lancar.
Masa \”matang\” organ hati pada setiap bayi tentu berbeda-beda. Namun umumnya, pada hari ketujuh organ hati mulai bisa melakukan fungsinya dengan baik. Itulah mengapa, setelah berumur 7 hari rata-rata kadar bilirubin bayi sudah kembali normal. Tapi ada juga yang menyebutkan organ hati mulai bisa berfungsi pada usia 10 hari.

RAGAM TERAPI
Jika setelah tiga-empat hari kelebihan bilirubin masih terjadi, maka bayi harus segera mendapatkan terapi. Bentuk terapi ini macam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada. Berikut penjelasan dari Dewi yang berpraktek di RSIA Hermina Daan Mogot, Jakarta.
1.Terapi Sinar (fototerapi)
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flexy glass
yang berfungsi meningkatkan energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa. Tujuannya untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari
lampu-lampu tersebut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi risiko terhadap organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Dokter akan terus mengontrol apakah kadar bilirubinnya sudah kembali normal atau belum. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari si bayi sudah boleh dibawa pulang.

Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluarkan cairan empedu ke organ usus. Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada si kecil.

2.Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah. Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus). Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebral palsy, gangguan motorik dan bicara, serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Proses tukar darah akan dilakukan bertahap. Bila dengan sekali tukar darah, kadar bilirubin sudah menunjukkan angka yang menggembirakan, maka terapi transfusi bisa berhenti. Tapi bila masih tinggi maka perlu dilakukan proses tranfusi kembali. Efek samping yang bisa muncul adalah masuknya kuman penyakit yang bersumber dari darah yang dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Meski begitu, terapi ini terbilang efektif untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.

3.Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.


Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani.

4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.
Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui
lagi.

5. Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.

DUA JENIS KUNING
Hiperbilirubin, tutur Dewi, dibagi menjadi dua, yakni ikterus neonatus fisiologis dan ikterus neonatus patologis.
1. Ikterus neonatus fisiologis (hiperbilirubin karena faktor fisiologis)
merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi lahir, dan akan \”sembuh\” pada hari ke-7. Penyebabnya organ hati yang belum \”matang\” dalam memproses bilirubin. Jadi, hiperbilirubin karena
faktor fisiologis hanyalah gejala biasa. Meski begitu, orang tua harus tetap waspada. Bisa saja di balik itu terdapat suatu penyakit.
2. Ikterus neonatus patologis;
hiperbilirubin yang dikarenakan faktor penyakit atau infeksi. Misalnya akibat virus hepatitis, toksoplasma, sifilis, malaria, penyakit/kelainan di saluran empedu atau ketidakcocokan golongan darah (rhesus).
Hiperbilirubin yang disebabkan patologis biasanya disertai suhu badan yang tinggi (demam) atau berat badan tak bertambah. Biasanya bayi kuning patologis ditandai dengan tingginya kadar bilirubin walau bayi sudah berusia 14 hari.







Asuhan Keperawatan Ikterik Pada Bayi Baru Lahir
1. LATAR BELAKANG
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkab kuning pada bayi.
Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu, beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL ynag pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan.
BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar, infeksi, dan hemolisis.
BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.

2. PERMASALAHAN
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah; yang paling ditakuti adalah ensefalopati bilirubin. Mengingat belum adanya definisi yang universal, maka diperlukan kesepakatan definisi, pendekatan diagnosis, serta tata laksana yang tepat.
Berbagai teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir. Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya. Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining) pengukuran bilirubin serum.
Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar serum bilirubin untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-obatan) masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan terapi dapat berakibat buruk di masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang tidak perlu.
3. Tujuan
Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan keterampilan penulis dalam memberikan asuhan kebidanan pada BBL dengan BBLR dan Ikterus serta menerapkannya dalam bentuk manajemen asuhan kebidanan.

TINJAUAN TEORITIS
Pengertian
· Ikterus Neonaturum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus juga disebut Hiperbilirubinemia. Yang dimaksud ikterus pada BBL (bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin didalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.(Ngastiyah,1997: 197)



· Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal patologis. (Saifuddin, 2002: 381)
· Ikterus atau warna kuning pada bayi baru lahir dalam batas normal pada hari ke2-3 dan menghilang pada hari ke-10. ikterus disebbkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah dewasa. (Manuaba, 1998: 325)
· Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh (Ilmu Kesehatan Anak Jilid I)
· Ikterus (Jaundice) adalah perubahan warna kulit menjadi kuning akibat pewarnaan jaringan oleh bilirubin (Hellen Farrer, Perawatan Maternitas)
· Ikterus adalah perubahan warna kulit atau sclera mata ( normal berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis ( normal), terdapat pada 25-50% bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis ( tidak normal) misalnya berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis ( infeksi berat), penyumbatan saluran empedu dll.
· Ikterus adalah pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Disebut dengan hiperbilirubinemia apabila didapatkan kadar bilirubin dan darah > 5mg% (85µmol/L). (Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004)

Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:2
- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.
- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) à penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.
- Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim b glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:2
- Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
- Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
- Polisitemia
- Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir
- Ibu diabetes
- Asidosis
- Hipoksia/asfiksia
- Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik

2. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
- ASI
Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia

Klasifikasi
Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari ke dua, kemudian menghilang pada hari ke sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin tidak langsung yang berlebihan Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan yang mendalam antara lain :
· Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama
· Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari
· Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
· Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur
· Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama
· Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg%pada setiap waktu.
· Ikterus yang mempunyai hubungan dengan penyakit hemoglobin, infeksi,atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.

Ikterus Neonatorum dibagi menjadi:
a. Ikterus Patologik
Ikterus di katakan patologik jikalau pigmennya, konsentrasinya dalam serum, waktu timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebut pada Ikterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik.
Ikterus patologik dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu :
Ø Meningkatnya produksi bilirubin, sehingga melampaui batas kemampuan hepar untuk dikeluarkan.
Ø Faktor-faktor yang menghalangi itu mengadakan obstruksi pengeluaran bilirubin.
Ø Faktor yang mengurangi atau menghalangi kemampuan hepar untuk mengadakan konjugasi bilirubin.

b. Ikterus Hemolitik
Ikterus Hemolitik pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebut Erythroblastosis foetalis atau Morbus Haemolitik Neonatorum ( Hemolytic disease of the new born ). Penyakit hemolitik ini biasanya disebabkan oleh Inkompatibilitas golongan darah itu dan bayi.
1) Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit ini sangat jarang terdapat di Indonesia. Penyakit ini terutama terdapat di negeri barat karena 15 % Penduduknya mempunyai golongan darah Rhesus negatif. Di Indonesia, dimana penduduknya hampir 100% Rhesus positif, terutama terdapat dikota besar, tempat adanya pencampuran penduduk dengan orang barat. Walaupun demikian, kadang-kadang dilakukan tranfusi tukar darh pada bayi dengan ikterus karena antagonismus Rhesus, dimana tidak didapatkan campuran darah denagan orang asing pada susunan keluarga orang tuanya.
 
Bayi Rhesus positif dari Rhesus negatif tidak selamanya menunjukkan gejala klinik pada waktu lahir, tetapi dapat terlihat ikterus pada hari pertama kemudian makin lama makin berat ikterusnya, aisertai dengan anemia yang makin lama makin berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat maka bayi dapat lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien ( hydropsfoetalis ).
Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin yang berlebihan dalam serum, agar tidak terjadi Kern Ikterus.

2) Inkompatibilitas ABO
Penderita Ikterus akibat hemolisis karena inkom patibilitas golongan darah ABO lebih sering ditemukan di Indonesia daripada inkom patibilitas Rh. Transfusi tukar darah pada neonatus ditujukan untuk mengatasi hiperbilirubinemia karena defisiensi G – 6 – PD dan Inkompatibilitas ABO.
Ikteru dapat terjadi pada hari pertama dan ke dua yang sifatnya biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemianya ringan, hepar dan lien tidak membesar, ikterus dapat menghilang dalam beberapa hari. Kalau hemolisiinya berat, sering kali diperlukan juga transfusi tukar darah untuk mencegah terjadinya Kern Ikterus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.
a) Ikterus hemolitik karena incompatibilitas golongan darah lain.
Selain inkompatibilitas darah golongan Rh dan ABO, hemolisis dapat pula terjadi bila terdapat inkompatibilitas darah golongan Kell, Duffy, MN, dan lain-lain. Hemolisis dan ikterus biasanya ringan pada neonatus dengan ikterus hemolitik, dimana pemeriksaan kearah inkimpatibilitas Rh dan ABO hasilnya negatif, sedang coombs test positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis inkompatibilitas golongan darah lain.
b) Penyakit hemolitik karena kelainan eritrosit kongenital.
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang menyerupai erytrhoblasthosis foetalis akibat isoimunisasi. Pada penyakit ini coombs test biasanya negatif. Beberapa penyakit lain yang dapat disebut ialah sperositosis kongenital, anemia sel sabit ( sichle – cell anemia ), dan elyptocytosis herediter.
c) Hemolisis karena diferensi enzyma glukosa-6-phosphat dehydrogenase ( G-6-PD defeciency ).
Penyakit ini mungkin banyak terdapat di indonesia tetapi angka kejadiannya belum di ketahui dengan pasti defisiensi G-6-PD ini merupakan salah satu sebab utama icterus neonatorum yang memerlukan transfusi tukar darah. Icterus walaupun tidak terdapat faktor oksigen, misalnya obat-obat sebagai faktor pencetusnya walaupun hemolisis merupakan sebab icterus pada defesiensi G-6-PD, kemungkinan besar ada faktor lain yang ikut berperan, misalnya faktor kematangan hepar.
c. Ikterus Obstruktiva
Obstruksi dalam penyaluran empedu dapat terjadi di dalam hepar dan di luar hepar. Akibat obstruksi itu terjadi penumpukan bilirubin tidak langsung dan bilirubin langsung.
Bila kadar bilirubin langsung melebihi 1mg%, maka harus curiga akan terjadi hal-hal yang menyebabkan obstruksi, misalnya hepatitis, sepsis, pyelonephritis, atau obstruksi saluran empedu peningkatan kadar bilirubin langsung dalam serum, walaupun kadar bilirubin total masih dalam batas normal, selamanya berhubungan dengan keadaan patologik.
Bisa terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati maupun luar hati. Akibatnya kadar bilirubin direk maupun indirek meningkat.
Bila sampai dengan terjadi obstruksi ( penyumbatan ) penyaluran empedu maka pengaruhnya adalah tindakan operatif, bila keadaan bayi mengizinkan.

d. Kernicterus
Encephalopatia oleh bilirubin merupakan satu hal yang sangat di akui sebagai komplikasi hiperbirubinemia.
Bayi-bayi yang mati dengan icterus berupa icterus yang berat, lethargia tidak mau minum, muntah-muntah, sianosis, opisthotonus dan kejang. Kadang gejala klinik ini tidak di temukan dan bayi biasanya meninggal karena serangan apnoea.
Kernicterus biasanya di sertai dengan meningkatnya kadar bilirubintidak langsung dalam serum.
Pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin yang melebihi 20 mg% sering keadaan berkembang menjadi kernicterus.
Pada bayi primatur batas yang dapat di katakan cuman ialah 18 mg%, kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3gram%. Pada neomatus yang menderita hyipolia, asidosis, dan hypoglycaemia kernicterus dapat terjadi walaupun kadar bilirubin <16mg%.> 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
· Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat pada tabel 1.
· Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir <>15 mg/dL menggunakan cahaya biru yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan spektrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat, sumber cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif.

TRANFUSI TUKAR
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia.

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia <> 4,5 mg/dL dan kadar Hb <> 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sinar

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
- Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis
- Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia
- Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin
- Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar
- Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
- Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung
- Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis
- Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih
- Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan
- Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar
- Lanjutkan dengan terapi sinar
- Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar 12:
a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang tua penderita
b. Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan NaCl fisiologis
d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin < style="font-weight: bold;">Pelaksanaan Tranfusi Tukar
a. Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10 – 20 mL atau tergantung berat badan bayi, jangan melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
b. Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock. Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur dengan darah donor
c. Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit
d. Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi
e. Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar selesai
f. Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi transfusi tukar
g. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan. Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi <>
Mempercepat metabolisme dan pengeluran bilirubin ü Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan yang dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus,misalnya dengan terapi sinar (photo terapi).
Mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah , yaitu denga tranfusi tukar darah.

MEMPERCEPAT METABOLISME DAN PENGELUARAN BILIRUBIN
1.Early feeding. Pemberian makanan dini pada neonatus dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada neonatus. Hal ini mungkin sekali disebabkan karena dengan pemberian Makanan yang dini itu terjadi pendorongan gerakan usus,Dan meconium lebih cepat dikeluarkan,sehingga peredaran Enterohepatik bilirubin berkurang.

2.Pemberian agar-agar. Pemberian agar-agar per os dapat mengurangi ikterus fisiologik.Mekanismenya ialah dengan menghalangi atau mengurangi peredaran bilirubin enterohepatik.
3.Pemberian phenobarbital. Pemberian phenobarbital ternyata dapat menurunkan kadar bilirubin tidak langsung dalam serum bayi.Khasiat phenobarbital ialah mengadakan induksi enzymamicrosoma,sehingga konjugasi bilirubin berlangsung lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia padaneonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan yang dapat dikeluarkan dengan sempurna melalui ginjal dan traktus digestivus.Contoh paling baik ialah terapi sinar. Creme ( 1958 ) melaporkan bahwa pada bayi penderita icterus yang diberi s inar matahari lebih dari penyinaran biasa, icterus lebih cepat menghilang dibandingkan dengan bayi lain yang tidak disinari. Penyelidikan sarjana-sarjana lain, misalnya Lucey ( 1968 ), Gianta dan Rath ( 1968 ), dan lain-lain menunjukkan bahwa terapi sinar dengan menggunakan sinar buatan juga memberi hasil yang baik. Dengan terapi sinar bilirubin serum dapat turun dengan cepat, 1 sampai 4 mg% dalam 24 jam. Dengan penyinaran bilirubin dipecah menjadi dipyrole yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus. Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh dan dikeluarkan dari tubuh dengan sempurna. Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia harus dilakukan dengan hati-hati karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan komplikasai, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan kehilangan air tidak terasa ( insensible water losess ), dan dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan bayi, walaupun hal ini masih dapat dibalikkan. Kalau digunakan terapi sinar, sebaiknya dipilih sinar dengan spektrum antara 240-480 nannometer, sinar ultraviolet harus dicegah dengan plexiglas dan bayi harus mendapat cairan yang cukup. Cara penggunaan foto terapi : v Alat yang dipergunakan lebih atas 10 lampu neon biru masing-masing berkekuatan 20 Watt. v Susunan lampu ini dimasukkan ke dalam bilik yang diberi ventilasi di sampingnya. v Dibawah susunan lampu dipasang plexiglass setebal 1 1\2 cm untuk mencegah sinar ultraviolet. v Alat terapi sinar diletakkan 45 cm di atas permukaan bayi. v Terapi sinar di berikan selama 72 jam tau sampai kadar bilirubin mencapai 7,5 mg%. Selama terapi sinar mata bayi dan alat kelamin ditutupi dengan bahan yang dapat memantulkan sinar. Transfusi tukar darah ( exchange transfusion ) Transfusi tukar darah Jakarta di berikan kasus-kasus berikut : a. Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin tidak langsung yang lebih dari 20 mg% b. Pada bayi prematur tranfusi tukar darah dapat diberikan walaupun kadar albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml. c. Pada kenaikan yang cepat nilirubin tidak langsung serum bayi pada hari pertama ( 0,3 – 1 mg% per jam ). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan darah. d. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung. e. Bayi penderita icterus dan kadar hemoglobin darah tali pusat kurang dari 14 mg% dan Coombs test langsung positif. Alat-alat dan obat-obat yang harus disediakan ialah : 1. Semprit dengan 3 cabang ( 3 way syringe ) 2. Semprit 5 ml atau 10 ml ( 2 buah ) untuk glukonas calcicus 10% dan heparin encer ( 2 ml heparin @ 1000 satuan dalam 250 ml NaCi fisiologik ) 3. Kateter polyethylene kecil sepanjang 15-20 cm ( atau feeding tube No. 5-8 French ) 4. Piala ginjal ( 2 buah ) serta botol kosong untuk menampung darah yang dibuang 5. Alat-alat pembuka vena dan 6. Zat asam, laringskop neonatus, ventilator bayi ( misalnya Penlon infant ventilator ), plastic airway, dan lain-lain yang diperlukan untuk resusitasi. Teknik transfusi tukar darah a. Lambung bayi harus kosong, 3-4 jam sebelum transfusi jangan diberi minum. Kalau mungkin, 4 jam sebelum transfusi bayi diberi infus albumin 1 gram/kg berat badan atau 35 ml plasma manusia per kg berat badan. b. Semua tindakan harus dilakukan dengan cara ansepsis dan antisepsis. c. Harus diawasi pernafasan, nadi, denyut jantung, dan keadaan umum bayi.

d. Bayi tidak boleh kedinginan. Kalau inkubator bayi kecil, dan transfusi tukar darah tidak dapat dilakukan di dalam inkubator, maka bayi dapat dikeluarkan dan dipanaskan dengan menggunakan lampu 20 Watt dalam jarak 2-3 meter dari bayi e. Bila masih segar, tali pusat dipotong rata dengan dinding perut. Hati-hati terhadap pendarahan. Sebaiknya sebelum dipotong tali pusat dibuat jahitan seperti lasso pada pangkal tali pusat yang dapat dipergunakan sebagai simpul untuk mencegah pendarahan. f. Salah satu ujung kateter polyethylene dihubungkan dengan semprit 3 cabang dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam vena umbilicalis. Sebelum dimasukkan ke dalam umbilicalis semprit 3 cabang dan kateter harus diisi dengan larutan heparin encer ( 2 ml heparin @ 1000 satuan/ml dalam 250 ml NaCi fisiologik ). Hal ini perlu untuk mencegah embolus. Kateter dimasukkan dengan hati-hati ke dalam vena umbilicalis sampai terasa halangan ( biasanya sedalam 4-6 cm ), kemudian ditarik lagi sepanjang 1 cm. Dengan cara demikian, darah akan mengalir keluar dengan sendirinya. Ambillah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium. g. Periksalah tekanan vena umbilicalis dengan mencabut ujung luar kateter dari semprit dan mengangkatnya ke atas perut bayi. Tekanan ini biasanya positif ( darah dalam kateter naik kira-kira 6 cm di atas perut bayi ). Bila ada gangguan pernafasan, dapat terjadi tekanan negatif. Hati-hati jangan terjadi enbolus udara. h. Keluarkan darah sebanyak 20 ml dan masukkan darah sebanyak 20 ml. Memasukkan dan mengeluarkan darah di perlahan –lahan kira-kira dalam waktu 20 detik.Kalau bayi lemah atau prematur,cukup sebanyak 10-15 ml sekali masuk dan keluar.Banyaknya darah yang dikeluarkan 190 ml per kg berat badan dan yang dimasukkan 170 ml per kg berat badan. i. Semprit harus sering dibilas dengaan larutan hepatin encer dalam air garam fiologik. j. Setelah darah masuk sebanyak 150 ml, kateter dibilas dengan larutan heparin encer itu. Kemudian dimasukkan gluconas calcicus 10 % secara perlahan –lahan (2 menit ) ,sesudah itu,dibilas dengan larutan heparin encer ( 1 ml).Denyut jantung harus selalu diawasi. k. Bila tali pusat telah kering dan tidak dapat dapat dipakai lagi,dapat dipakai vena saphena magna,yaitu cabang vena femoralis.Lokasinya ialah 1 cm dibawah ligamentum inguinalis dan medial dari arteri femoralis. PERAWATAN SETELAH TRANSFUSI DARAH. 1. vena umbilicus dikompres dengan larutan garam fisiologik supaya tetap basah seandaainya tetap diperlukan transfusi tukar lagi.Kateter siumbilikus dapat ditinggalkan dan ditutup secara steriel. 2. Bayi perlu diberi antibiotik spektrum luas. 3. Kadar haemoglobin dan bilirubin diperiksa setiap 12 jam. 4. Sesudah transfusi bayi dapat diberi terapi sinar. KATABOLISME HEME MENGHASILKAN BILIRUBIN. Ketika hemoglobin dihancurkan didalam tubuh,globin diuraian menjadi asam amino pembentuknya yang kemudian akan di gunakan kembali ,dan zat besi dari heme akan memasuki depot zat besi yang juga untuk pemakaian kembali. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan,terutama didalam sel-sel retikuloendotel hati,limpa dan sumsum tulang. Katabolisme heme dari semua protein heme dilaksanakan dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh sebuah sistem enzim yang kompleks yang dinamakan heme oksigenase.Pada saat heme pada protein heme mencapai sitem heme oksigenase, zat besi biasanya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri yang merupakan hemin. Sistem heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrak. Sistem ini terletak sama dekat dengan sistem pengangkutan elektron mikrosum. Besi fero sekali lagi teroksidasi menjadi bentuk feri. Dengan penambahan lebih lanjut oksigen, ion feri dilepaskan, kemudian karbon monoksida dihasilkan. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Konversi kimia heme menjadi bilirubin oleh sel retikuloendotel dapat di amati secara in vivo karena warna ungu heme pada hema toma perlahan-lahan di ubah menjadi pigmen bilirubin yang berwarna kuning . Bilirubin yang terbentuk di jaringan perifer akan di angkut ke hati oleh albumin plasma. Metabolisme bilirubin lebih lanjut terutama terjadi di hati. PERISTIWA METABOLISME DI BAGI MENJADI 3 PROSES. § Ambilan bilirubin oleh sel parenkim hati. § Konjugasi bilirubin dalam retikulum endoplasma halus. § Sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu.

1. HATI MENGAMBIL BILIRUBIN. Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan air, tetapi kelarutan bilirubin di dalam plasma di tingkatkan oleh pengikatan nonkovalen dengan albumin. Setiap molekul albumin tampaknya mempunyai satu tapak dengan afinitas tinggi dan satu tapak dengan afinitas rendah untuk pengikatan bilirubin. Dalam 100 ml plasma, kurang lebih 25 mg bilirubin dapat di ikat erat oleh albumin pada tapak dengan afinitas tinggi. Bilirubin jumlahnya berlebihan hanya terikat secara longgar dan karenanya mudah terlepas serta berdisfusi kedalam jaringan. Sejumlah senyawa seperti antibiotik dan beberapa obat lainnya bersaing dengan bilirubin untuk dapat berikatan pada tapak pengikatan dengan afinitas tinggi pada albumin. Jadi senyawa – senyawa ini dapat menggeser bilirubin dan memberikan efek klinis yang bermakna.. Di hati bilirubin dilepaskan dari bilirubindari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid hepatosit qleh sistem dapat jenuh( saturable) yang diperantarai oleh zat pembawa.Sistem pangangkutan yang difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar sehingga sekalipun pada keadaan patologik,sistem tersebut tampaknya tidak membatasi kecepatannya dalam metabolisme bilirubin. Mengingat sistem pengangkutan yang difasilitasi tersebut memungkan adanya ekuibilibrium bilirubin lewat membran sinusoid hepatosit,ambilan neto bilirubin akan bergantung pada pengeluaran bilirubin oleh lintasan metabolik berikutnya.

2. KONJUGASI BILIRUBIN DENGAN ASAM GLUKURONAT TERJADI DIHATI Bilirubin bersifat non polar dan akan bertahan didalam sel (misal,terikat dengan lipid) jika tidak dibuat dapat larut didalam air.Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk polar yang dapat diekskresikan dengan mudah kedalam empedu dengan penambahan molekul asam glukoronat pada bilirubin pada bilirubin tersebut.Proses ini dinamkan konjugasi dan dapat memakai molekul polar yang bukan asam glikironat(misal,sulpat).Banyak hormon steroiddan obat yang juga dikonversikan lewat proses konjugasi menjadi derifat yang dapat larut dalam air untuk mempersipkan ekskresi hormon dan obat tersebut. Hati sedikitnya mengambil dua buah isoform enzim glukuronosiltrasferase yang keduanyabekerja pada bilirubin.Enzim ini terutama terdapat dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukuronat sebagai donor glukorunosil.Bilirubin monoglukuronida merupakan intermediat danselanjutnya akan dikonfersikan menjadi bentuk diglukoronida.Meskipun demikian,kalau konjugat bilirubin terdapat secara abnormal didalam plasma manusia (misa,pada ikterus obtruktif) ,bentuk bilirubinbilirubin yang dominan adalah monoglukuronida. Aktifitas UDP glukuronosiltransferase dapat diinduksi oleh sejumlahobat yang berkasiat dalam klinik,termasuk preparat fenobarbital. 3. BILIRUBIN DISEKRESIKAN KE DALAM GETAH EMPEDU. Sekresi bilirubin terkonjugasi kedalam empedu terjadi melalui mekanisme pengangkutan yang aktif,yang mungkin bersifat membatasi kecepatan bagi keseluruh proses metabolisme bilirubin hepatik.Pengangkutan hepatik bilirubin terkonjugasi kedalam empedu bisa diinduksi oleh obat yang sama yang mampu menginduksi konjugasi bilirubin.Jadi sistem konjugasi dan ekskresi bagi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi. Dalam keadaan fisiologis,pada hakekatnyaseluruh bilirubin yang diekskresikan kedalam empedu berda dalam bentuk terkonjugasi.Hanya setelah fototerapi dapat ditemuakan bilirubin tak terkonjugasi dengan jumlah bermakna didalam empedu.Dihati terdapat lebih dari satu sistem untuk menyekresikan kedalam empedu senyawa yang ada secara alami dan senyawa farmasisetelah proses senyawa terjadi.Beberapa dari sistem sekresi ini dipakai bersama bilirubin diglukuronida,tetapi sebagian lainnya bekerja secara bebas. Bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus. Setelah bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminalis dan usus besar,glukuronida dilepaskan oleh enzim bakteri yang spesifik(enzim gukuronidase),dan pigmen tersebut selanjutnya direduksioleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tidak berwarna yang dinamakan urobilinogen.Diileum terminalis dan usus besar. Diserap kembali dan diekskresikan kembali lewat hati untuk menjalani siklus urobilinogen enterohepatik. Pada keadaan abnormal, khususnya kalau terbentuk pigmen empedu yang berlebihan atau kalau ada penyakit yang mengganggu siklus enterohepatik ini, urobilinogen dapat pula diekskresikan kedalam urine. Normalnya, sebagaian besar urobilinogen tidak berwarna yang terbentuk di dalam kolon oleh flora feses akan teroksidasi disana menjadi urobilin ( senyawa berwarna ) dan diekskresikan ke dalam feses. Warna feses berubah menjadi lebih gelap ketika dibiarkan terpajan udara disebabkan oleh oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin. BAB IV PENUTUP 4.1 . Kesimpulan Ikterus adalah perubahan warna kulit atau sclera mata ( normal berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis ( normal), terdapat pada 25-50% bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis ( tidak normal) misalnya berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis ( infeksi berat), penyumbatan saluran empedu dll. Ikterus Neonatorum dibagi menjadi: a. Ikterus Fisiologis - warna kuning akan timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3. - Tidak mempunyai dasar patologis. - Kadarnya tidak melampuai kadar yang membahayakan. - Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus. - Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. b. Ikterus Patologis - Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan; serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl. - Peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. - Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg% pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan. - Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan sepsis). - Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl/jam atau lebih 5 mg/dl/hari. - Ikterus menetap sesudah bayi umur 10 hari ( bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada BBLR. Penanganan pada bayi Ikterus: a. Memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi - Beri minum sesuai dengan kebutuhan. Makanan yang paling utama dan sesuai untuk bayi baru lahir adalah ASI. Oleh sebab itu, berilah ASI pada bayi sesering mungkin. - Jika bayi dapat menyusui, berilah ASI eksklusif lebih sering. - Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui piapa nasogastrik atau dengan gelas dan sendok. - Perhatikan juga frekuensi BAB dan BAK bayi untuk menghindari terjadinya dehidrasi. b. Beri theraphy sinar untuk bayi yang dirawat di Rumah Sakit, dan jemur bayi dibawah sinar matahari pagi sekitar jam 7-jam8 pagi setiap hari selama 15 menit bayi telungkup dan 15 menit bayi telentang. c. Jika kondisi tubuh keluarga atau tamu sedang sakit, jangan dekat bayi dahulu, sebab bayi sangat rentan terhadap penyakit. a. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan. b.Cegah infeksi seminimal mungkin. Langkah Promotif dan perventif yang dapat kita lakukan agar ikterus ini tidak terjadi yaitu: ü Menghindari penggunaan obat pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan ikterus (sulfa,anti malaria, nitro furantio, aspirin). ü Penanganan keadaan yang dapat mengakibatkan BBLR. ü Penanganan infeksi maternal, ketuban pecah dini secara tepat dan cepat. ü Penanganan asfiksia adan trauma persalinan dengan tepat. ü Pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi baru lahir dengan ASI dini dan eksklusif. 4.2. Saran 1. Bagi Mahasiswa Dalam penetapan manajemen kebidanan diharapkan mahasiswa dapat melakukan pengkajian yang lebih lengkap untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mampu memberikan asuhan yang kompeten bagi pasien. Mahasiswa juga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya selama proses pembelajaran di lapangan. 2. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan bimbingan yang seoptimal mungkin dari pendidik lapangan dalam membimbing mahasiswa di lapangan dalam memberikan asuhan kebidanan dan keperawatan bagi pasien sehingga mahasiswa dapat mengevaluasikan teori dan praktek yang telah diperolehnya.

Referensi:
1.    Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.
2.    Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.
3.    Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90.
4.    Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.
5.    Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
6.    Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.
7.    Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.
8.    Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.
9.    Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.
10.    Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.
11.    Martin CR, Cloherty JP.  Neonatal Hyperbilirubinemia.  In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors.  Manual of Neonatal Care, 5th edition.  Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.
12.    Masukan Dr. Ali Usman, SpA(K)
13.    American Academy of Pediatrics. Clinical Practice Guideline. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.  Pediatrics 2004;114:297-316.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar